Kaitan Sains dan Seni bersama Prof. Susanto Imam Rahayu

Kaitan Sains dan Seni bersama Prof. Susanto Imam Rahayu

COPAS.ID – Kalau kamu selama ini menganggap sains dan seni itu dua dunia yang terpisah—satu pakai logika, satu lagi pakai rasa—maka mungkin kamu belum pernah ngobrol bareng Prof. Susanto Imam Rahayu. Dalam satu kesempatan santai tapi penuh makna, saya berkesempatan duduk bersama beliau dan membahas hal yang jarang dibicarakan secara mendalam: bagaimana sains dan seni ternyata bisa saling terhubung, bahkan saling memperkaya.

Prof. Susanto, yang dikenal sebagai akademisi dengan latar belakang kuat di bidang pendidikan dan filsafat ilmu, menyampaikan banyak insight menarik tentang hubungan dua ranah ini. Dan jujur saja, saya sempat berpikir, “Wah, kayaknya bakal berat nih topiknya.” Tapi ternyata, cara beliau menjelaskan benar-benar membumi dan mudah dicerna.

Sains dan Seni, Bukan Dunia yang Bertabrakan

Salah satu pernyataan Prof. Susanto yang langsung membuka pikiran saya adalah:

“Sains dan seni bukan lawan. Mereka saling melengkapi. Sains menjelaskan dunia, seni membuat kita merasa hidup di dalamnya.”

Menurutnya, sains memberikan struktur, sebuah pemahaman rasional tentang alam semesta, dari atom terkecil hingga galaksi. Sedangkan seni hadir sebagai wujud ekspresi manusia, memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang nggak bisa dijelaskan hanya dengan rumus atau data.

Misalnya, bayangkan kamu mempelajari anatomi tubuh manusia dalam kelas biologi. Kamu tahu bagaimana otot bekerja, bagaimana jantung memompa darah. Tapi lewat seni—lukisan, puisi, tari—kamu bisa merasakan keindahan tubuh itu dalam gerak dan bentuk. Itulah titik pertemuan antara sains dan seni yang sering luput kita sadari.

Sains Membantu Seni Berkembang, dan Sebaliknya

Dalam obrolan kami, Prof. Susanto juga mengungkap bahwa banyak kemajuan dalam dunia seni justru dipengaruhi oleh teknologi dan ilmu pengetahuan. Contohnya? Fotografi digital, desain grafis, bahkan musik elektronik—semua itu lahir dari perkawinan antara teknologi dan kreativitas.

Tapi sebaliknya, sains juga butuh sentuhan seni. Ketika seorang ilmuwan menyusun presentasi hasil penelitiannya, ia akan lebih meyakinkan jika menyajikannya secara visual yang menarik, narasi yang mengalir, dan rasa yang mengikat. Di situlah elemen seni bekerja: desain, estetika, dan storytelling.

Pendidikan Harusnya Jangan Pisah-Pisahkan

Prof. Susanto juga menyoroti pola pendidikan kita yang cenderung “memisah-misahkan” anak IPA dan IPS, atau menyederhanakan seni hanya sebagai pelajaran pelengkap.

“Kenapa harus dipisah? Anak IPA juga perlu belajar seni supaya punya empati dan rasa. Anak seni juga butuh logika untuk membangun karya yang berdampak.”

Menurutnya, masa depan dunia butuh orang-orang yang bisa berpikir lintas batas—yang bisa menggabungkan data dan rasa, logika dan intuisi, angka dan warna.

Contoh Nyata di Kehidupan Sehari-hari

Prof. Susanto memberi contoh sederhana yang benar-benar kena:
“Ketika kamu melihat langit malam yang penuh bintang, secara sains kamu tahu itu reaksi fusi nuklir yang terjadi di inti bintang. Tapi perasaan takjubmu? Itu datang dari sisi seni yang membuatmu sadar bahwa kamu kecil, dan alam semesta ini begitu indah.”

Kalimat itu membuat saya terdiam sejenak. Karena benar juga—kita butuh dua sisi itu untuk benar-benar hidup dengan utuh, bukan sekadar “mengetahui”.