Pelecehan seksual di Jepang terus menjadi sorotan publik, dengan berbagai kasus terbaru yang mengungkapkan tantangan sistemik dalam budaya kerja, pendidikan, dan institusi negara. Meskipun gerakan seperti #MeToo mulai mendapat tempat, banyak korban masih menghadapi hambatan dalam mencari keadilan.
Kasus-Kasus Terbaru yang Mengguncang Publik
Pada awal 2025, Wakil Direktur Utama Honda Jepang mengundurkan diri setelah terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap seorang pegawai perempuan. Sebelumnya, pembawa acara Fuji TV, Masahiro Nakai, dipecat karena kasus serupa . Kedua insiden ini slot qris menyoroti budaya kerja yang masih rentan terhadap pelecehan dan bias gender.
Di sektor pemerintahan, Wali Kota Ginan, Hideo Kojima, mengundurkan diri setelah menghadapi 99 tuduhan pelecehan seksual. Kasus ini memicu kemarahan publik dan menyoroti perlunya reformasi dalam lembaga pemerintahan .
Dalam dunia olahraga, gelandang tim nasional Jepang, Junya Ito, dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan setelah memaksanya mengonsumsi alkohol dan membawanya ke hotel. Kasus ini sedang diselidiki oleh kepolisian Osaka.
Pelecehan Seksual dalam Proses Rekrutmen Kerja
Generasi muda, khususnya Gen Z, menghadapi tantangan besar saat mencari pekerjaan. Sebuah studi oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang pada 2024 menemukan bahwa satu dari tiga mahasiswa mengalami pelecehan seksual selama proses rekrutmen atau magang . Sebagai respons, pemerintah merancang RUU yang mewajibkan perusahaan mengambil langkah-langkah pencegahan dan memberikan sanksi hukum bagi pelaku.
Tanggapan Masyarakat dan Gerakan Sosial
Masyarakat Jepang mulai menunjukkan solidaritas terhadap korban melalui gerakan seperti “Flower Demo”, yang dimulai pada April 2019. Setiap tanggal 11, para peserta berkumpul dengan membawa bunga sebagai simbol dukungan bagi korban kekerasan seksual. Gerakan ini dipicu oleh kekecewaan terhadap putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa kasus pemerkosaan .
Salah satu tokoh penting dalam gerakan ini adalah jurnalis Shiori Ito, yang memenangkan gugatan perdata atas kasus pemerkosaan yang dialaminya. Kisahnya menjadi simbol perjuangan melawan budaya diam dan ketidakadilan dalam sistem hukum Jepang .
Tantangan dalam Penegakan Hukum dan Budaya
Meskipun ada peningkatan kesadaran, banyak korban masih enggan melaporkan kasus pelecehan seksual. Menurut survei pemerintah Jepang pada 2017, hanya 4% korban pemerkosaan yang melaporkan kejadian tersebut ke polisi . Faktor-faktor seperti stigma sosial, proses hukum yang melelahkan, dan kurangnya dukungan psikologis menjadi penghalang utama.
Di lingkungan militer, kasus kekerasan seksual yang melibatkan tentara AS di Okinawa memicu kemarahan publik. Pemerintah Jepang mendesak militer AS untuk memperketat disiplin dan menerapkan langkah-langkah pencegahan guna melindungi warga sipil .
Upaya Reformasi dan Harapan ke Depan
Pemerintah Jepang mulai mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, termasuk merancang undang-undang baru dan memperkuat kebijakan perusahaan dalam mencegah pelecehan seksual. Namun, perubahan budaya yang mendalam masih diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi semua.
Gerakan sosial, dukungan masyarakat, dan keberanian korban untuk bersuara menjadi kunci dalam mendorong perubahan. Dengan terus meningkatkan kesadaran dan menuntut akuntabilitas, diharapkan Jepang dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan bebas dari pelecehan seksual.