Belanda menggunakan strategi pecah belah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal. Mereka memanfaatkan konflik antar penguasa pribumi dan menjadikannya celah untuk memperluas pengaruh. Dengan kekuatan senjata dan perjanjian-perjanjian yang merugikan, mereka menguasai pelabuhan, lahan pertanian, hingga sistem pemerintahan.
Selama masa penjajahan, Belanda memaksa rakyat Nusantara bekerja di bawah sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Rakyat menanam komoditas ekspor seperti kopi, tebu, dan nila untuk memenuhi kepentingan ekonomi Belanda. Mereka tidak segan menghukum siapa pun yang menolak atau melanggar aturan. Sistem ini membuat rakyat menderita, kehilangan tanah, dan jatuh miskin, sementara hasil kekayaan alam mengalir ke negeri penjajah.
Namun, rakyat Nusantara tidak tinggal diam. Mereka terus melawan, baik dalam bentuk perlawanan bersenjata seperti yang dilakukan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan Sultan Hasanuddin, maupun dalam bentuk perlawanan intelektual yang muncul di awal abad ke-20. Perjuangan demi perjuangan terus berlangsung hingga akhirnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Kisah penjajahan Belanda bukan hanya tentang penindasan, tapi juga tentang keteguhan dan semangat rakyat untuk merebut kembali tanah airnya. Sejarah ini mengajarkan pentingnya persatuan, keberanian, dan semangat juang untuk merdeka dan berdaulat di tanah sendiri.